Hari Lingkungan Hidup, Jaga Alam Itu Berangkat dari Diri Sendiri

Apsari N. E. Ramadhanty
3 min readAug 8, 2022

--

*) This article originally submitted and posted on Opini.id (July 2021) but the website is now currently unavailable.

Kondisi alam bumi secara perlahan berubah ke arah yang buruk bagi penghuninya dan ini selalu menjadi masalah serius. Salah satunya yakni perubahan iklim dan pemanasan global yang menjadi sebab utama cairnya es di kutub. Pemanasan global sendiri muncul akibat masalah terkait polusi udara dan hancurnya hutan. Ketika es di kutub mencair, ini dapat menyebabkan permukaan laut naik. Naiknya permukaan laut tersebut dapat menjadi bencana besar bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sebenarnya tak hanya cairnya es di kutub yang menjadi masalah, masifnya sampah plastik yang bermuara di lautan pun merupakan permasalahan yang sampai saat ini masih terus dihadapi. Sampah plastik di lautan mengancam kehidupan bahkan membunuh biota laut. Kesehatan laut yang terancam itu menyebabkan terganggunya penyerapan karbon dioksida yang berguna untuk mengatur iklim bumi. Sama-sama menyebabkan rusaknya alam, deforestasi juga masih sering terjadi terutama di negeri kita sendiri, Indonesia.

Permasalahan yang mempengaruhi ‘kesehatan’ lingkungan hidup tadi sebagian besar atau bahkan hampir semuanya merupakan akibat dari aktivitas manusia di bumi. Ada yang berasal dari keserakahan manusia yang mengharuskan hutan ditebangi secara massal untuk mendirikan lahan sawit atau bangunan-bangunan. Masalah itu juga berasal dari gaya hidup dan kebiasaan manusia yang terus menerus menggunakan plastik tanpa digunakan kembali maupun didaur ulang.

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK), deforestasi di Indonesia periode tahun 2019–2020 berhasil turun sekitar 75% dari periode sebelumnya menjadi 115,46 ribu ha. Meski begitu, jumlah tersebut tetaplah angka yang harus terus diperkecil, bukan? Hutan merupakan paru-paru dunia, menjadi tempat di mana tumbuhan dan hewan melangsungkan kehidupan. Jika luas hutan berkurang drastis, keseimbangan alam kita akan sangat terganggu dan akan mempengaruhi hidup generasi kita selanjutnya. Maka dari itu, usaha kita untuk membantu menjaga kesehatan bumi masih sangat diperlukan.

Beralih dari deforestasi menuju kebakaran hutan di Indonesia yang pada tahun 2020, melansir data KLHK, mencapai 296.942 ha. Meski menunjukkan tren penurunan, jumlah itu tetap angka yang besar dan harus terus diupayakan untuk turun.

Indonesia saya pikir selalu terikat dengan masalah-masalah lingkungan hidup. Selain deforestasi dan karhutla, aktivitas pembuangan sampah plastik ke laut pun ternyata cukup tinggi dan Indonesia menempati peringkat ke 2 dunia. Tentu bukan peringkat yang harus dibanggakan tetapi harus segera diturunkan.

Sejatinya solusi kunci dari masalah-masalah tersebut terletak pada diri kita masing-masing. Semua tergantung pada sebesar apa niat dan keinginan kita untuk menjaga alam dan lingkungan hidup. Usaha itu pun, bagi beberapa orang, tak jarang dilakukan dengan tujuan agar keturunannya nanti dapat menjalani kehidupan dengan nyaman tanpa harus mengalami sesak napas akibat kebakaran hutan karena perubahan iklim yang ekstrim.

Menurut saya dalam menjaga kesehatan bumi tidak harus langsung dengan jalan melakukan aktivitas yang masif. Mulai saja dulu dengan selalu membawa tas belanja supaya tidak perlu membawa pulang kantong plastik. Upaya sederhana seperti ini, saya yakin, jika dilakukan dengan konsisten, terus-menerus, pasti akan menuai hasil yang signifikan bagi lingkungan.

Melansir National Geographic, 7 Juni 2019, produksi plastik dunia telah meningkat tajam dari 2,3 juta ton pada 1950 menjadi 448 juta ton pada 2015 dan diprediksi meningkat dua kali lipat pada tahun 2050. Dibutuhkan sekitar 400 tahun agar sampah plastik dapat terurai, harus menunggu 5–6 generasi lahir di bumi. Usaha lain yang mungkin bisa membantu meminimalisir terbuangnya sampah plastik ke laut lepas adalah dengan membawa sendiri sedotan besi atau sedotan bambu kemanapun sebagai pengganti sedotan plastik.

Dalam film dokumenter Seaspiracy memang diklaim bahwa jumlah sampah plastik seperti sedotan, botol, dan kantong plastik di lautan tidak seberapa jika dibandingkan sampah jaring dan alat penangkap ikan yang ditemukan di laut maupun pantai. Meski begitu bukan berarti sampah plastik seperti yang saya sebut sebelumnya tadi tidak perlu diatasi, ya. Toh sedotan plastik, botol, dan kantong plastik tetap membahayakan kehidupan laut dan bumi.

Selain itu, perlu dicatat pula bahwa ketika kita sedang berusaha menjaga lingkungan alam, jangan pernah merasa malu atau minder, ya. Mungkin di antara kalian tak jarang ada yang dicelotehi, “Ciye anak SJW (Social Justice Warrior) kemana-mana bawa stainless straw,” atau “Wah anak lingkungan banget, nih.” Tidak apa-apa, mungkin mereka belum memahami sebesar apa dampaknya jika masalah-masalah yang mengancam kesehatan bumi terus terjadi 10, 20, bahkan 40 tahun ke depan.

Usaha kecil kita itu jika dilakukan secara konsisten akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Saya yakin hal kecil yang dilakukan terus-menerus pada akhirnya juga akan menjadi gunung tinggi. Terutama jika kita menyebarkan kesadaran untuk menjaga lingkungan kepada banyak orang.

Tetap kumpulkan semangat dan terus konsisten dalam menjaga kesehatan bumi. Seberapapun peranmu jika itu untuk menjaga alam pasti akan menghasilkan dampak positif. Selamat merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, genggam erat alam sekitar kita.

--

--

Apsari N. E. Ramadhanty

A proud BTS ARMY⁷. Sharing my opinion. Other than that I eat and do journaling >>> @dhanteats @jurnal.dhanty